Makassar, Rakyat News – Pemilu 17 April 2019 tinggal seminggu lagi. Para Calon Legislatif (Caleg) baik untuk mengisi kursi DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPR RI dan DPRD (Provinsi/Kabupaten/kota), segera memasuki masa tenang. Tapi, ketegangan bisa saja malah kian memuncak dan berujung stress.

Terlebih paska pemilihan, di mana sudah mulai ketahuan jumlah suara di TPS dan direkapitulasi. Pada saat inilah lah Caleg yang gagal berpotensi mengalami gangguan jiwa.

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN), Fidiansyah, Kementerian Kesehatan tidak menyiapkan regulasi yang secara khusus mengatur pelayanan kesehatan bagi para caleg stres.

“Setiap RS jiwa memang menyiapkan sarana mulai dari kelas 3,2, 1 dan VIP utk perawatan sesuai dengan kebutuhan klien dan hal itu tidak terkait karena pileg (pemilihan legislatif),” tutur dr Fidi seperti dikutip detikHealth, baru-baru ini.

Dalam kesempatan lain, Humas RSJ Marzoeki Mahdi, Prahardian Priatama, mengatakan pelayanan untuk pasien lain dan para caleg gagal pun akan sama dan tidak dibedakan. Penempatannya pun sesuai pilihan dari pasien itu sendiri bukan ketentuan dari pihak rumah sakit.

“Memang kita punya (fasilitas VIP), tapi nggak dispesialkan untuk caleg,” tutur pria yang akrab disapa Dian ini.

Pakar kesehatan jiwa sekaligus staf pengajar Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana (FK Ukrida), dr Andri, SpKJ, FACLP pun menyarankan semua caleg untuk lebih legowo (lapang dada) dan menyadari bahwa ladang untuk mengabdi pada masyarakat bukan hanya dengan menjadi anggota legislatif.

“Kalau dia jadi stres atau gejala depresi karena dia kehilangan harapan dan apa yang dia inginkan,” tutupnya.

Nah, untuk menghindari stress, ada baiknya para Caleg menyiapkan diri agar tidak mengalami stress ketika gagal duduk di parlemen.

Menurut Dr Hervita Diatri, SpKJ dari Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Jakarta, cara mencegah stress adalah dengan mengenal dan menyadari perubahan dalam diri serta melihat proses yang terjadi secara rasional.

“Pengenalan diri penting misalnya apa yang telah diupayakan dalam kampanye ini sebagai batu pijakan awal untuk masyarakat lebih mengenal siapa diri caleg,” katanya seperti dalam keterangan tertulis Humas FKUI, di Jakarta.

Selain itu, para caleg harus membina hubungan, komunikasi dan saling memberikan dukungan terutama dari dan dengan keluarga, rekan, maupun sistem pendukung lain (budaya, spiritual) untuk lebih mampu melihat semua ini sebagai proses yang perlu dihadapi bersama secara positif.

Hervita mengatakan, bila perubahan psikologis maupun fisik dirasakan mulai mengganggu fungsi seperti pekerjaan, perawatan diri, dan sosial terlebih bila berlangsung lama sangat disarankan untuk datang meminta bantuan kepada tenaga kesehatan maupun tenaga kesehatan jiwa.

“Layanan kesehatan jiwa dapat diakses melalui sistem layanan yang ada (primer sampai tersier) dengan mempertimbangkan sebanyak mungkin waktu yang ada dihabiskan bersama orang dan lingkungan terdekat,” katanya.

Menurut Hervita, beberapa faktor yang diperkirakan berkontribusi untuk terjadinya masalah di bidang kesehatan jiwa, adalah faktor individu yakni mereka yang dasarnya memiliki kecenderungan mekanisme adaptasi dan cara penyelesaian masalah yang kurang matang seperti mudah frustrasi, depresif, mudah cemas, mereka yang memiliki riwayat penyalahgunaan alkohol/narkotika lain dan tidak cukup terpotret dengan baik dalam penentuan status sehat jiwa dalam proses persyaratan.

Selanjutnya, faktor sosial-ekonomi yakni memotivasi yang kuat tetapi kurang mendukung untuk persiapan kegagalan yang merupakan tindakan penyelamatan untuk perbaikan ekonomi, status sosial; serta merupakan tindakan investasi atau dianggap sebagai lapangan pekerjaan.

Faktor Sistem yakni kurangnya pemahaman tentang sistem demokrasi/pemilu, partai, termasuk posisi yang akan diperebutkan sehingga risiko kegagalan kurang diprediksi.

“Faktor sistem yang dimaksud adalah perubahan metode pencalonan: suara langsung terbanyak, 2,5% parliamentary threshold, jumlah caleg yang sangat besar orientasi kampanye hanya di seputar pemilu dan lamanya waktu kampanye memerlukan proses promosi yang berkepanjangan dan mengakibatkan tingginya biaya,” katanya.

Selain itu, faktor strategi yakni kurang memperhitungkan untung-rugi, menjual harta benda dan berutang. Hervitra menambahkan, faktor individu diartikan sebagai kegagalan dan kehilangan yang multidimensi, faktor sosial dan ekonomi diartikan sebagai kehilangan materi termasuk status sosial, terlebih bila keluarga maupun lingkungan tidak mendukung.

Faktor masalah kesehatan jiwa diartikan peningkatan beban (ekonomi, sosial) bagi penderita, keluarga, masyarakat, maupun negara peningkatan risiko penyakit fisik, komorbiditas, termasuk penyalahgunaan zat, penurunan produktivitas hingga tingginya disabilitas kemiskinan, penurunan kualitas hidup.

sumber: kompas/detikcom